Label

CerBung (1) Little Girl (1) Me (1) Stories (1)
Blog ini penuh dengan karya-karyaku yang berupa cerpen, cerbung, ataupun puisi. Sori kalau mirip sama cerita yang kamu pernah baca. Tapi semua ini original bikinan aku sendiri. Enjoy ya! :D

Selasa, 14 Februari 2012

Little Girls (Part 1)

Tubuhnya penuh dengan kotoran, rambutnya terlihat gimbal jelas sekali jarang dicuci. Bajunya tak kalah kotornya, dan compang camping.

Tapi senyumnya, siapakah yang tidak akan luluh mellihat senyumnya itu? Dengan lesung pipi yang manis terukir di wajahnya, semua orang pasti akan berpikir, bagaimana bisa anak secantik dan semanis ini terlantar di jalanan?

Ya, Diana namanya, ia tak pernah tahu bahwa namanya diambil dari seorang tokoh dunia baik hati dan lemah lembut, Lady Diana, ia tak pernah mengenal tulisan, diusianya yang sudah menginjak tiga belas tahun dia hanya tahu, bahwa ia harus berkerja mati-matian karena, jika tidak ia tak akan bisa makan.

Itulah ia, menjadi sepenggal kisah di pinggir jalan kota metropolitan Jakarta yang kata orang mempunyai gaya hidup menengah keatas, segala-galanya mahal di Jakarta, tapi bagaimana bisa gadis kecil yang tak pernah mengenggam uang lebih dari lima puluh ribu rupiah bisa hidup sangat kekurangan di daerah kalangan atas itu.

Diana menatap langit mendung Jakarta dengan senyum, ia tahu sebentar lagi hujan, hujan yang selalu ia nantikan dan doakan. Ia suka musim hujan, suka sekali. Kenapa? Jawabannya sangat sederhana, saat hujan ia bisa menjadi ojek payung, dan meraih penghasilan lebih dari hari biasanya.

"Diana, woi Diana!" suara kasar itu memanggil namanya.
Diana menatap kearah datangnya suara dengan ketakutan, "Bang Joni, ada apa Bang?"
Lelaki itu menarik nafas dalam, dan menghembuskan asap rokoknya, menodai langit kota Jakarta yang sudah terolusi. Ialah Bang Joni, preman di daerah bundaran HI, tak ada yang berani membuat masalah dengannya.

"Lo mau ngojekkan?" tanyanya lagi dengan suara kasarnya.
"I... iya, Bang..." Diana menjawab dengan takut-takut, diajak berbicara dengan Bang Joni adalah pertanda buruk.
"Punya payung?"
"Pu... punya, Bang," memang dulu pernah ada seorang ibu baik hati yang memberinya payung, berkata padanya bahwa ia harus mencari uang sendiri dengan ngojek payung, karena pendapatannya juga termasuk besar bagi seorang Diana.
Bang Joni mengangguk-angguk kesal, sepertinya tadi ia bermaksud menawarkan pinjaman payung kepadanya dengan taris yang tidak tanggung-tanggung, tapi rencananya gagal seketika.
"Umur lo sekarang berapa, Di?"
"Tiga belas, Bang."
Bang Joni mengamati Diana dengan matanya yang tajam, "Hmm.... sudah besar ya, kamu sekarang juga jadi cantik, tinggal dirapiin aja penampilan kamu, pasti banyak yang mau sama kamu, Di."
"Mak... maksudnya, Bang?" Tulang-tulang Diana dimasuki aura dingin, perasaannya sungguh tak enak.
Bang Joni tersenyum licik, "Mau jadi pelacur?"
Diana terhentak kaget. Pelacur? Walaupun ia tak berpendidikan tapi ia tahu yang mana yang baik yang mana yang buruk, yang mana yang halal, yang mana yang tidak halal. Dan pelacur masuk kedalam daftar buruk dan tidak halal dalam kamusnya.
Diana menggeleng kuat-kuat, "Saya sama sekali tidak tertarik Bang, lagian saya masih kecil, Bang. Saya sama sekali gak tertarik sama yang kayak gituan."
Bang Joni tersenyum licik, ukh, dia benci senyum itu. Senyum itu selalu berarti suatu yang buruk.
"Kamu akan lihat Diana."
Dan, sang preman pun melangkah pergi, meninggalkan seribu pertanyaan di benak Diana, gadis kecil itu

* * *
Hujan besar mengguyur Jakarta, membuat semua yang hanya diatapi oleh langit, basah terkena airnya. Dan buruknya lagi hujan ini datang bersamaan dengan bel pulang sekolah.

Dina mengeluh kesal, pasalnya ia tidak membawa payung atau jaket. Hari ini supirnya tidak bisa menjemputnya karena harus mendampingi ibunya yang sedang pergi ke rumah sepupunya di puncak, jadilah Dina harus pulang sendiri. Dia benci hujan. Dia benci rasa dingin yang menghujam seluruh panca indranya.

Dina menatapi guyuran hujan dengan putus asa, sementara satu-satu temannya mulai pulang, ada yang dijemput, ada yang sudah menyiapi "perlengkapan perang" -jaket dan payung- terlebih dahulu dari rumah, dan tidak sedikit yang nekat melawan guyuran hujan.

Dina menhembuskan nafas panjang, tidak mungkin dia berlari menembus hujan, dia benci basah, dan tak mungkin ia membiarkan buku-buku pelajarannya basah terguyur hujan.

"Dina," suara lembut itu menarik Dina dari lamunannya.
"Ah, Fera. Bikin kaget aja," itu sahabatnya Fera. Dina melirik Fera iri temannya itu benar-benar setia pada pribahasa "Siapkan Payung Sebelum Hujan".
"Gak dijemput?"
Dina menggeleng lemah.
"Mau payungan bareng sampai halte?"
Dina menghembuskan nafas lega, akhirnya ada juga yang peduli pada nasibnya. "Tentu saja, ayo sebelum hujannya tambah derah." Dina mengandeng tangan sahabatnya dengan gembira.
Untung saja, halte tepat berada di depan sekolahnya. Dina menghindari becek dengan hati-hati tak ingin seragamnya kotor terkena cipratan air.
Halte penuh dengan orang yang sedang berteduh atau sedang menunggu bis atau taksi lewat. Dina dan Fera menunggu dibawah atap halte dengan beberapa bagian tubuh mereka yang basah. Mereka tak bisa sepenuhnya berlindung dari hujan.
Dina bersenandung sambil menunggu bisnya lewat, sayang jurusannya dengan Fera berbeda.
Tiba-tiba Dina ingat sesuatu, gitarnya tertinggal di kelas! Hari ini memang ada kelas musik, dan kelasnya disuruh membawa gitar. Betapa bodohnya ia! Baru ingat sekarang, kemana pikirannya saat sedang menunggu hujan reda tadi?
"Fer, Fer. Boleh gak gue pinjem payung lo? Gue baru inget gitar gue ketinggalan di kelas!" Dina memasang tampang memelas sebaik mungkin, ia bisa dimarahi habis-habisan kalau gitar kesayangan ibunya itu hilang!
"Oh, ya udah. Ini. Hati-hati ya, Di." Fera memberikan payungnya ke Diana.
Diana menghembuskan nafas lega, untuk sahabatnya ini memiliki hati malaikat!
"Thanks ya, Fer."
Dina hanya ingat kalau ia tak boleh membuat Fera lama menunggu payungnya yang ia pinjam. Ia harus buru-buru, sampai ia lupa cara menyebrang yang baik yang sudah diajarkan kepadanya sejak ia masih kecil, tengok kiri-kanan terlebih dahulu, melainkan ia langsung menyebrang dengan pandangan lurus ke depan.

"DINA!!!!!" Teriakan Fera membuatnya menoleh, dan dilihatnya dengan ketakutan sebuah mobil sedang meluju kencang ke arahnya.

To be continued....

* * *
Thanks,
Rachi

original story by Rati C. Nugraheni (Rachi) :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar